Aku Mencintaimu, Suamiku
Cinta itu membutuhkan kesabaran.
Sampai dimana kah kita harus bersabar menanti cinta kita?
Hari itu, aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita.
Aku menjadi perempuan yang paling bahagia.
Pernikahan kami sederhana namun meriah.
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan pria yang sangat sholeh, pintar, tampan dan mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu k’tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu.
Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh k’tanah suci.
Aku sangat bahagia dengannya, dan dia juga sangat memanjakan aku.
Sangat terlihat rasa cinta dan sayangnya padaku.
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang sangat serasi.
Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku.
Dan aku bahagia menikah dengannya.
Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri.
Sangat tak berasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena samapai saat ini kami belum bisa memberikan malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku.
Ia menganggap ALLAH belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah.
Ibu dan adiknya tidak menyukai aku.
Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka.
Namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku.
Di depan suami ku mereka berlaku sangat baik kepadaku.
tapi d’belakang suamiku, aku di hina-hina oleh mereka.
Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur.
Alhamdulillah suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda.
Ia di rawat dirumah sakit, pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan.
Aku selalu menemaninya siang dan malam sambil ku bacakan ayat-ayat suci Al-Quran.
Aku sibuk bolak balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosialku.
Aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun ssat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya, teman-teman suamiku.
Dan disaat itu juga aku melihat seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku.
Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar.
Aku menangis ketika melihat suamiku sadar tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.
Ku buka pintu yang tertutup rapat sambil mengatakan “Assalammualaikum” dan mereka menjawab salamku.
Aku berdiam sejenak di depan pintun dan mereka melihatku.
Suamiku menatapku penuh manja
Mungkin ia kangen padaku karena sudah lima hari matanya selalu tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat.
Setelah aku menghampirinya, ku cium tangannya sambil berkata “Assalammualaikum”, ia pun menjawab salamku dengan suaranya yang lirih namun penuh dengan cinta.
Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu ibunya berbicara denganku ”fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku, hingga akhirnya aku bertemu juga dengan orangnya.
Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Aku sibuk membersihkan dan mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru bentar aku membersihkan lukanya, tiba-tiba adik iparku yang bernama dian mengajakku keluar.
Ia minta di temani ke kantin dan suamiku pun mengijinkannya, kemudian aku menemaninya.
Tapi ketika diluar adik iparku berkata “lebih baik kau pulang saja, ada kami yang menjaga abang disini, kau istirahat aja”
Anehnya aku tak di perbolehkan berpamitan denngan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil.
Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak di izinkan berpamitan dengan suamiku.
Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama .
Nantinya dia akan memberikan alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya.
Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diizinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit.dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.
Hari itu, aku menangis tanpa sebab.
Yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya di bagi dengan yang lain.
Pagi itu, saat aku membersihkan perkarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang, ia baru saja selesai sarapan, ia mengajak duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam mancur itu.
Aku bertanya “ ada apa kamu memanggilku?”
Ia berkata “besok aku akan menjenguk keluargaku di sabang”
Aku menjawab “iya sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memegang tiket bukan?”
“ya tapi aku tak akan lama disana, Cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mamaku” jawabnya tegas
“mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?” tanyaku dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulangannya itu, padahal aku sudah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
“mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti” jawabnya tegas
“sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak beertemu, ya kan?” lanjutnya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan padanya.
Bahagianya aku di manja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang dan cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama dengan suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yang pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sacral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan di perdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga suamiku.
Malam sebelum kepergiaannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke sabang, ia menatapku dan menghapus air mata yang jatuh di pipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena aku ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah di tinggal selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemanapun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesok harinya, aku terus menangis .. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaan aku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka .
Aku harus percaya pada suamiku, dia pasti akan selalu menelponku.
Berjauhan dengan suamiku,aku merasa tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian di tinggal pergi ke sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit.Rahimku terasa sakit sekali seperti dililit oleh tali.Tak tahan aku menahan rasa sakit di rahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku di larikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut stadium 3.
Aku menangis, apa yang bisa aku banggakan lagi.
Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan mempunyai keturunan dari rahimku, namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapan ia segera pulang?” aku tak tahu…
Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika meneleponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku.
Lebih baik aku tutupi dulu tentang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari sabang. Aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung.
Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.
Ku buka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabari lagi”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yang aku tunggupun tiba, aku menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, akupun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yang buruk akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi, ku bukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku peagng tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu pun aku berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya.
Masya Allah,, ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku.
Aku hanya berpikir, mungkin ia capek. Aku pun segera merapikan bawaanya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu ALLAH, sang Maha Pencipta.
Biasanya kami selalu berjamaah, tapi karena melihatnya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengulas wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku shalat tahajud 8 rakaat plus witir 3 rakaat.
Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yang berceceran dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelepon kerumah mertuaku dan kebetulan dian yang mengangkat teleponnya. Aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab “Loe piker aja sendiri !!!!” telepon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yang keras. Suamiku telah berubah..
Bahkan yang membuatku kaget, aku pernah di tuduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat .. sebagaimana pun salahnya suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.
Aku hanya berdoa semoga suamiku sadar akan prilakunya.
Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam. Telah menanti seperti ini , kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya dan menyiapkan segala yang ia perlukan penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibupun telah aku pendam. Aku tak tahu ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktivitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh,, suami yang dulu aku puja dan aku banggakan. Sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.
“ya, ada apa yah!”sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“lusa kita siap-siap ke Sabang ya” jawabnya tegas.
“ada apa? Mengapa?” sahutku dengan penuh keheranan.
Astagfirullah.. suamiku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan “ kau ikut saja jangan banyak Tanya !!”
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan di bawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Lima tahun kami menikah dan sudah dua tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yang dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin seperti batu es. Aku menangis dengan kebingungan. Ingin rasanya aku berontak berteriak , tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya berbicara dan sabar mengobati penyakitku ini dalam kesendirianku.
Kami telah sampai di Sabang. Aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu dan adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu. Ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja kau membongkar koper kami dan ingin memasukkan ke dalam lemari tua yang berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggilku untuk bersegera berkumpul di ruang tengah , aku pun menuju ruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu, yang tampak seperti zaman peninggalan Belanda.
Kemudian aku duduk di samping suamiku, dan suamiku duduk dengan penuh kebisuan, aku tak berani bertanya kepadanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang di anggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.
“baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara denganmu Fisha”. Neneknya bicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
“ada apa nek?” sahutku dengan penuh Tanya..
Nenek pun menjawab “kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran”.
Aku menangis.. untuk inikah aku di undang kemari? Untuk dihina atau di pisahkan dengan suamiku?
“sebenarnya kami sudah punya calon untuk fikri dari dulu sebelum kau menikah dengan Fikri. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya bicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“dan aku dengar dari ibu mertuaku pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraannya.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku liat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya masih saja bicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimic wajah yang sangat menantang kemudian berkata “kau maunya gimana? Kau mau di madu atau di ceraikan?”
Masya Allah.. kuatkan hati ini, aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.
Aku selalu menutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu, mereka mengira aku sangat bahagia belakangan ini.
“Fish, jawab !”. Dengan tegas ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung megang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dngan tegas.
Walaupun aku tidak diskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathinlah.
“untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru di rumah kami”.
Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku di bagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikitpun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku. “ayah siapakah yang nanti akan menjadi sahabatku di rumah kita nanti, yah?”
Suamiku menjawab, “dia Desi !!”
Aku pun langsung menarik napas dan langsung bicara, “kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini nek?”
Ayah mertuaku menjawab “pernikahannya 2 minggu lagi”.
“baiklah kalo begitu saya akan menelepon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok’. Setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah terbagi. Sakit dan diiringi akutnya penyakitku.
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?
Aku berjalan ke meja rias, aku buka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku?”
Ku ambil sisirku, aku menyisir rambutku yang setiap hari rontok. Ku lihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis .. kepalaku sudah botak di bagian tengah.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri di belakangku. Tak ku hapus air mataku, aku segera memandangnya dari cermin meja rias.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan , “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepadaku, jadi aku tak perlu sedih lagi saat di tinggal pergi kamu nanti ! iya kan?”
Suamiku mengangguk sambil melihat kepala ku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampoo.
Dalam hatiku bertanya “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakan aku lagi. Lalu dia berkata “sudah malam, kita istirahat yuk !”
“aku shalat isya dulu baru aku tidur” jawabku tenang.
Dalam shalat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
Aku tak tahu kalo Desi orang sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suami kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya.
Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curhatan hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? Sampai ia berlaku kejam kepadaku. Aku save curhatanku di my document yang bertitle “aku mencintaimu suamiku”.
Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri di dekat jendelan aku melihat matahari karena mungkin saja aku tak kan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama. Lalu suamiku yang sudah siap denagn pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“apakah kamu sudah siap?”
Ku hapus air mata yang menetes di wajahnya sambil berkata : “nanti jika ia telah sah menjadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kakinya lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu…….” Perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menangis meledak.
Tiba-tiba menjawab “lalu apa lagi bunda?”
Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk, seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar..
“bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?” pintaku untuk meyakini bahwa pendengaranku tidak salah.
Dia mengangguk dan berkata “baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus air mataku, dan ia agak sedikit membungkuk karena ia sangat tinggi.
Dia tersenyum sambil berkata, “kita liat nanti saja ya!”, dia memelukku dan berkata “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”.
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa ayah berubah? Aku kangen sama ayah? Aku kangen belaian kasih sayang ayah? Aku kangen dengan manjanya ayah? Aku kesepian ayah? Dan satu hal lagi yang harus ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzina !
Dulu waktu aku pacaran, aku memang belum bisa melupakannya. Setelah 4 bulan bersama ayah aku baru bisa melupakannya. Bukan berarti aku pernah berzina ayah.. aku langsung bersujud di di kakiknya dan mencium kaki imamku sambil berkata “aku minta maap ayah telah membuatmu susah”
Dan saat itu juga di angkatnya badanku dan ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menantinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, “bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihatmu kembali seperti dulu sudah membuatku baik yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang”. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyuk menjalani acara prosesi akad nikah dengan Desi.
Setelah tiba di masjid, ijab qabul pun di mulai. Aku duduk di seberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan Desi, perempuan yang membuat hati aku cemburu, ingin berteriak mengatakan “ayah JANGAN !!!” tapi aku ingat dengan kondisiku.
Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab qabul,. Begitu ijab qabul selesai, aku menarik napas panjang. Dan tante Lia, tante yang baik kepadaku, memelukku. Dalam hati aku berusaha menguatkan hatiku, YA aku pasti KUAT !!!
Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding diperlaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum tapi di balik itu hatiku menangis.
Sampai di rumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan itu ?
Sementara Desi di sambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu yang di musuhi.
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa. Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin shalat lail aku keluar untuk mengambil wudhu lalu aku melihat ada lelaki yang mirip dengan suamiku tidur di sofa ruang tengah.kemudian aku dekati dan aku lihat. Masya ALLAh, ternyata suamiku tidak tidur dengan perempuan itu. Lalu aku duduk di sofa itu sambil mengelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku dan aku kaget.
“kamu datang kesini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan mengajaknya shalat lail. Setelah shalat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena egonya aku. Besok kita pulang ke Jakarta dan biar Desi pulang bersama mama, papa dan adik-adikku.”
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat ia tidur, ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja. Sudah lama tak seperti ini. Ya ALLAH apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya. Tapi masih bisakah Engkau izinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.
Suamiku berbisik “bunda koq kurus sih?”
Aku menagis dalam kebisuan dan Peluknya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, “ ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”
“aku kangen sama kamu bunda, aku tak mau menyakitimu bunda, kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawabnya.
Lalu suamiku berkata, “bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda. Selama ayah di Sabang ayah mendengar kalo bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar harta ayah dan satu lagi. Ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan bunda dimana isinya kalau bunda ga mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu di beri tanda kutip. Ayah ingin ngomong tapi ayah takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalo bunda pernah tidur dengannya sebelum ayah bertemu ayah, terus ayah di marahi oleh keluarga karena ayah terlalu memanjakan bunda.
Hati ini sakit ketika di fitnah oleh suamiku, ketika tidak ada keprcayaan di dirinya, hanya karena omongan dari keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.
Aku hanya menjawab, aku sudah ceritakan ini kan yah. Aku tidak pernah berzina dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.
Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantinnya. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya.
Karena kau tak mau mati dalam hati yang penuh dengan benci.
Keesokkan harinya.
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing dan rahimku sakit sekali. Aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main dan ia langsung menggendongku. Dan aku pun di larikan ke rumah sakit.
Dari kejauhan aku mendengar suara dzikir suamiku. Aku merasakan tanganku basah.
Ketika ku buka mata, ku lihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia menggenggap tanganku dengan erat dan mengatakan “bunda, ayah minta maaf”. Berkali-kali ia mengucapkan kata maaf itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi denganku?
Aku berkata dengan suara yang lirih. ‘yah, bunda ingin pulang, bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda , anterin bunda kesana yah”
“ayah jangan berubah lagi ya !” janji ya yah !!! bunda sayang banget ma ayah.
Tiba-tiba saja kakiku sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi dan aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Ku lihat wajahnya yang tampan yang berlinangan air mata.
Sebelum mata ini tertutup, ku lafazdkan kalimat syahadat dan di tutup dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai menikah. aku bahagia bersuamikan dia karena dia adalah nafasku. Dan untuk mertuaku : “maafkan aku telah hadir di dalam kehidupan anakmu dan ketahuilah ma, dari dulu aku selalu berdoa agar mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku di depan suamiku. Apakah engkau punya buktinya ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku ma?
Fikri tetap milikmu ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu. Dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari ankamu tapi mengapa engkau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”
Setelah ku buka laptop, ku baca curhatan istriku.
Ayah mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku di hina oleh mereka ayah….
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku di sambut dengan wajah ketidaksukaannya, itu sangat terlihat dari wajahnya.
Tapi ketika engkau bersama diriku, Dian sangat baik, sangat manis dan dia menggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu karena aku tahu kamu pasti membela adikmu dan tak ada gunanya aku cerita
Aku di usir dari rumah sakit. Aku tidak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah. Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, kamu pasti akan membela Desi dan ibunya. Aku tak mau sakit hati lagi. Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku. Engkau maha Adil. Berilah keadilan padaku, ya ALLAH.
Ayah sudah berubah, ayah sudah tidak sayang lagi padaku.
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu. Aku kuat ayah dalam kesakitan ini. Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku. Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.
Besok suamiku akan menikah dengan Desi, perempuan yang aku benci, yang aku cemburui tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri. Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah aku masih tak rela tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir sebelum ajal menjemputku.
“ayah aku kangen ayah”
“dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu bunda”
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar berwarna pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.
Bunda tetep cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup di hati ayah.
Bunda, Desi tidak seperti dirimu yang tidak pernah marah, Desi sangat berbeda dengan mu, ia tidak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, dan kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkan bunda selama 2 tahun, kamu sakitpun aku tak peduli, hidup dalam kesendirianmu.
Seandainya ayah tak menelantarkan bunda. Mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian bunda yang halus.
Sekarang ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.
Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah aku temui. Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku.
Bunda maafkan aku, bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.
“maafkan aku, aku tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku karena aku takut menjadi anak yang durhaka. Maafkan aku ketika engkau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah bunda akan mendapatkan pengganti ayah di surge sana?
Apakah bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia di alam sana?
Tunggulah ayah disana bunda.
Bisakan? Seperti bunda menunggu ayah disini. Aku MOHON !!!!!!
“ayah sayang bunda”